Pengawasan dapat diartikan sebagai proses yang berkenaan dengan cara-cara menyusun kegiatan sesuai yang direncanakan. Pengertian tersebut erat hubungannya antara perencanaan dan pengawasan.Dapat
dikatakan bahwa perencanaan adalah langkah awal dari pengawasan.
Di dalam budaya perusahaan yang baik hendaknya
diterapkan sistem kontrol yang biasa disebut social control system.
Sistem kontrol ini tidak terlalu banyak melibatkan orang lain untuk memonitor
apa saja yang dilakukan oleh seseorang tetapi yang terlibat langsung dalam
pengendalian adalah orang yang bersangkutan melalui komitmen dan kesepakatan
dengan orang-orang sekitar berkaitan dengan sikap dan perilaku yang dianggap
memadai. Di sinilah budaya organisasi memainkan perannya dalam menciptakan social
control system.
Dalam upaya tersebut maka sangat diperlukan
membangun sebuah budaya kontrol dari segenap lapisan. Model kontrol seperti ini
menggunakan asumsi bahwa sistem pengendalian dengan kontrol bisa berjalan
dengan baik jika orang yang dimonitor menyadari bahwa pimpinannya atau siapa
saja yang berwenang memberi perhatian terhadap apa yang dikerjakan bawahannya
dan atasan akan melakukan teguran manakala terjadi penyimpangan terhadap yang
dilakukan bawahannya. Dalam praktik, sistem pengendalian formal biasanya
didesain untuk mengukur kinerja berupa outcome atau perilaku orang-orang
yang terlibat dalam proses aktivitas. Adanya budaya tersebut akan mengantarkan
perusahaan berjalan sesuai dengan standai operasional yang sudah
ditentukan.
Jadi, pekerja yang sudah loyal terhadap
pengendalian internal paling tidak telah menjadi modal dasar yang ampuh untuk
menghindari terjadinya human fraud sehingga proses internalisasinya
lebih dipahami dan dijalankan dengan lebih baik lagi. Hal yang diperlukan
adalah bagaimana membangun sebuah sistem kontrol atau pengendalian, dan
pencegahan terhadap resiko yang terjadi.
Satu hal yang perlu dicatat di sini bahwa proses
pencegahan terjadinya human fraud ini seharusnya difokuskan kembali ke
dalam empat hal, yaitu Pertama, bagaimana budaya kontrol ditanamkan untuk
menciptakan pemicu agar proses internalisasi budaya kontrol di masing-masing
satuan kerja bisa berjalan. Kedua, mendeteksi faktor pemicu untuk mengurangi human
fraud. Ketiga, bagaimana secara mendasar proses pengawasan atau
pengendalian internal sebaiknya dijalankan. Keempat, perlu suatu
langkah-langkan konkret antisipasi yang
diambil pihak otoritas pendidikan dan pemerintahan, manajemen pendidikan sendiri
dan pihak-pihak yang terkait lainnya khususnya dalam mencegah kasus-kasus fraud
mendatang. Hal yang di perlukan adalah bagaimana membangun sebuah sistem
kontrol, atau pengendalian dan pencegahan terhadap risiko yang terjadi.
Seharusnya proses pemahaman dan peningkatan budaya kontrol dapat terwujud
dengan baik seyogyanya dilakukan pemberdayaan pekerja terhadap pengendalian
berlandaskan beberapa aspek antara lain kejujuran, kepedulian, rasa hormat,
kesamaan, kerja sama, pengakuan dan kepercayaan.
Kontrol dan Budaya Kontrol
Robert (dalam Hani, 2003)menyatakan bahwa pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk
menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang
sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang
telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-
penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin
bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan
efisien dalam pencapaian tujuan- tujuan perusahaan.
Pengawasan didefinisikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk
meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan
sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila
ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.
Berikutnya, istilah kontrol penulis sejajarkan dengan manajemen.
Sering pula disebut dengan istilah span of control, span of authority, span
of attention atau span of supervision yang artinya jumlah bawahan
yang secara langsung memberikan laporan kepada seorang manajer tertentu.
Berdasarkan uraian berbagai pengertian di atas, penulis mengambil satu
pengertian tentang pengawasan lembaga pendidikan yaitu kegiatan lanjutan dari
tahap perencanaan pendidikan guna memastikan akan tercapainya tujuan-tujuan
pendidikan dan mengantisipasi adanya penyimpangan yang tentunya akan
mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. Sementara itu, kontrol lembaga pendidikan dapat
penulis artikan sebagai pengendalian secara efektif yang dilakukan oleh seorang
atasan, dalam hal ini adalah orang yang memimpin lembaga pendidikan,
kepada bawahannya.
Pengawasan sebenarnya mengandung arti penjagaan
stabilitas dan equilibrium.Pengawasan juga dapat dilakukan oleh siapa saja.
Bisa kepala sekolah, pengawas sekolah, serta unsur- unsur lain yang ada dalam
dunia pendidikan.Artinya, pengawasan bisa bersifat bottom- up ataupun top-down.Sedangkan
rentang kontrol biasanya hanya dilakukan oleh seorang manajer atau atasan dari
suatu organisasi (lembaga pendidikan).
Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi
kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.Kini budaya dipandang
sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis.Budaya
tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai
sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari
sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu? Marvin Bower seperti
disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas
memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh
Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important
assumption (often unstated) that members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein
(2002) dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture &
Leadership mendefinisikan budaya sebagai:
“ A pattern of shared basic assumptions that the group learned as
it solved its problems of external adaptation and internal integration, that
has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to
new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to
those problems.
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “Baik” atau
“buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika
dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih
berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak
perlu dilakukan.Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang
berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin
diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah
proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk
diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard
Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and
Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat
alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan
kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur
kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi.
Terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara
besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun
tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat
bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi
berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi
mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi
kecil tetapi berkembang pesat.
Tidak ada satu pun alasan yang cocok
dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus
usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5
sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang.
Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari
yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih
banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.
Hal ini menyangkut unsur karakter manusia
sebagai penyebab utama terjadinya penyimpangan, maka risiko operasional ini
dikenal sebagai human fraud.Dalam hal ini, unsur tanggung jawab dan
integritas tiap personil yang
terlibat dalam unit satuan pendidikan, dapat berupa lingkungan sekolah,
kedinasan, bahkan kementerian tampaknya sudah luntur sehingga berakibat fatal
hanya karena tidak berjalannya pengawasan atau pengendalian internal dengan
baik.Sudah sepatutnya pencegahan terjadinya risiko operasional ini ditempatkan
pada prioritas utama, sejalan dengan pelaksanaan fungsi manajemen risiko
berbasis pengendalian.”Control Culture” (budaya kontrol) dari mulai pimpinan
tertinggi hingga pendidik atau tenaga kependidikan dari satuan terkecil dapat
disebarluaskan dengan baik di seluruh satuan kerja tertentu dan tentunya
merupakan hal menarik untuk dibahas.
Tipe- tipe Pengawasan
Pengawasan terbagi menjadi tiga tipe, yaitu;
1. Pengawasan pendahuluan/feedforward control/ steering control
Tipe
ini dirancang untuk mengantisipasi masalah- masalah ataupun penyimpangan-
penyimpangan dari standar tujuan dan memungkinkan dilakukannya koreksi sebelum
dilanjutkan ke tahap tertentu. Dalam dunia pendidikan, pengawasan pendahuluan
ini bisa dikatakan sebagai proses awal setelah perencanaan pendidikan sebelum
memasuki kegiatan inti pendidikan yaitu kegiatan belajar mengajar. Kita bisa
meninjau kembali rancangan kegiatan belajar mengajar yang diperkirakan
menyimpang dan selanjutnya diharapkan untuk dapat diperbaiki sebelum
dilanjutkan ke tahap aplikasi di lapangan. Pengawasan ini bisa efektif jika
atasan atau manajer atau kepala sekolah mendapatkan informasi akurat tepat
waktu tentang perubahan- perubahan yang terjadi dalam lingkungan tentang
perkembangan tujuan pendidikan yang akan dicapai.
2. Pengawasan
Ya-Tidak/ Berhenti-Terus/ concurrent/ screening control
Pengawasan ini
dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan.Tepatnya , tipe ini bisa
menjadi proses double check suatu kegiatan sebelum diakhiri dan
dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya. Pelaksanaan kegiatan dengan memakai
tipe pengawasan ini akan lebih tepat, untuk dihentikan atau diteruskan,
disaring.
3. Pengawasan umpan
balik/ feedback control/ past-action controls
Pengukuran hasil-
hasil dari suatu kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau past-action
controls. Artinya, bersifat histories. Segala penyimpangan atau pun
penemuan selama kegiatan berlagsung akan berulang pada kegiatan yang serupa di
masa yang akan datang.
Ketiga bentuk
pengawasan di atas dalam manajemen pendidikan menjadi sangat berguna.Akan
tetapi, perlu adanya pertimbangan untuk melakukan pengawasan tipe pertama dan
kedua. Hal ini dikarenakan biayanya yang mahal dan tidak semua kegiatan
memungkinkan untuk terus dipantau serta pengawasan berlebihan pun juga akan
menurunkan produktivitas. Akan lebih aman jika setiap manajer menggunakan tipe
pengawasan yang disesuaikan dengan situasi masing- masing sekolah.
Tahap- tahap Proses Pengawasan
Ada lima tahapan dalam proses pengawasansebagai berikut.
1. Penetapan standar
pelaksanaan
Biasanya tahap ini
kita sebut dengan tahap perencanaan. Perencanaan sekolah merupakan gambaran
masa depan dari sosok institusi sekolah yang dikehendaki oleh warganya.[6] Perencanaan pendidikan yang mantap adalah
yang sudah memenuhi standar. Standar tersebut adalah standar fisik, yang
meliputi kuantitas kegiatan, jumlah input dan kualitas pendidikan. Standar
kedua yaitu standar moneter yang berkaitan dengan biaya tenaga pendidik,
kegiatan belajar mengajar dan segala hal yang masih berhubungan dengan anggaran
atau pembiayaan pendidikan. Yang terakhir adalah standar waktu yang meliputi
masa kegiatan pendidikan atau target penyelesaiannya. Standar- standar yang
sudah ditetapkan perlu dikomunikasikan dengan bawahan sehingga tahapan lain
dalam proses perencanaan dapat berjalan efektif.
2. Penentuan
pengukuran pelaksanaan kegiatan/ kinerja
Penentuan standar
akan menjadi sia- sia jika disertai cara mengukur pelaksanaan kegiatan
pendidikan tersebut. Kita dapat menggunakan pertanyaan how often atau
berapa kali seharusnya pelaksanaan kegiatan pendidikan diukur, what form
atau dalam bentuk apa pengukuran dilakukan, serta who atau siapa saja
yang akan terlibat dalam proses pengukuran tersebut. Pengukuran ini hendaknya
dapat dilakukan dengan mudah dan dipahami oleh semua yang terlibat di dalamnya.
Untuk kinerja ini dapat diukur dengan metode UCLA yaitu meliputi assessment
sebagai lanhkag korektif didasarkan pada data[7] , planning, implementation,
improvement, certification dan metode balanced-scorecard[8].
3. Pengukuran
pelaksanaan kegiatan
Setelah frekuensi
pengukuran dan system monitoring ditentukan, tahap selanjutnya adalah
pengukuran pelaksanaan kegiatan pendidikan yang dilakukan berulang-ulang
seperti observasi (pengamatan),laporan (tertulis/ lisan) dan metode serta
inspeksi, pengujian (test).Bisa juga digunakan jasa pengawas sekolah agar lebih
efektif.
4. Pembandingan
pelaksanaan dengan standar dan analisis penyimpangan
Tahap ini adalah
tahap kritis. Walaupun mudah dilakukan tapi akan terjadi kompleksitas dalam
menginterpretasikan penyimpangan- penyimpangan yang ada. Analisis penyimpangan akan menjawab
pertanyaan mengapa standar tidak tercapai dan ini juga berguna untuk
mengidentifikasi penyebab terjadinya penyimpangan sehingga tidak perlu terjadi
kembali.
5. Pengambilan
tindakan koreksi
Apabila hasil
analisa menunjukkan perlunya diambil tindakan koreksi, maka koreksi harus
dilakukan. Kita dapat mengambil koreksi dalm bentuk perubahan standar awal
yakni standar input yang terlalu tinggi atau rendah, perubahan frekuensi
pengukuran dan perubahan penganalisisaan dan penginterpretasian penyimpangan
yang mungkin ada.
Kontrol Negara
terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan
individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang
pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat
dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output
yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat
pedulu dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang
pendidikan.Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu system pendidikan
yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan.Untuk
memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang menerapkan kontrol yang sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggarakan
sendiri oleh negara maupun yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga
menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara, tetapi pemerintah
bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang
masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan
kenegaraan.
Menurut
Dale (1989), control Negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, system
pendidkan diatur secara legal.Kedua, system pendidikan dijalankan sebagai
birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas.Ketiga,
penerapan wajib pendidikan (compulsory education).Keempat, reproduksi
politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah berlangsung dalam konteks
tertentu.Dale (1989)menambahkan bahwa perangkat Negara dalam bidang pendidikan,
sepeti sekolah dan administrasi pendidikan memiliki efek tersendiri terhadap
pola, proses, dan praktik pendidikan.
Sketsa Politik Pendidikan di Indonesia
Setiap periode perkembangan pendidikan nasional adalah persoalan penting bagi
suatu bangsa karena perkembangan tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknolgi, karakteristik, dan kesadara politik yang banyak
mempengaruhi masa depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan
adalah faktor politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan
adalah cerminan aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan-kekuatan
politik yang sedang berkuasa.
Ada empat strategi
pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
1. Peningkatan
pemerataan kesempatan pendidikan
2. Peningkatan
relevansi pendidikan dengan pembangunan
3. Peningkatan
kualitas pendidikan
4. Peningkatan
efisiensi pengelolaan pendidikan.
Sketsa
penyelenggaraan pendidikan di Negara ini dapat dibagi atas enam periode
perkembangan, yaitu :
1. Periode pertama adalah periode awal atau periode prasejarah yang
berlangsung hingga pertengahan tahun 1800an. Pada masa ini penyelenggaraan
pendidikan di tanah air mengarah pada sosialisasi nilai-nilai agama dan
pembangunan keterampilan hidup. Penyelenggaraan pendidikan pada periode ini
dikelola dan dikontrol oleh tokoh-tokoh agama.
2. Periode kedua adalah periode kolonial Belanda yang berlangsung dari tahun
1800an hingga tahun 1945. Pada periode ini penyelenggaraan pendidikan ditanah
air diwarnai oleh proses modernisasi dan pergumulan antara aktivitas pendidikan
pemerintahan colonial dan aktivitas pendidikan kaum pribumi. Disatu pihak,
pemerintah colonial berusaha menempuh segala cara untuk memastikan bahwa
berbagai kegiatan pendidikan tidak bertentangan dengan kepentingan kolonialisme
dan mencetak para pekerja yang dapat diekploitasi untuk mendukung misi sosial,
politik, dan ekonomi pemerintah kolonial.
3. Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun
1942 hingga tahun 1945. Berbagai kegiatan pendidikan pada periode ini diarahkan
pada upaya mendiseminasi nilai-nilai dan semangat nasionalisme serta
mengobarkan semangat kemerdekaan ke seluruh lapisan masyarakat.Salah satu aspek
perkembangan dunia pendidikan pada masa periode ini adalah dimulainya
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan
pendidikan formal.
4. Periode keempat adalah periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945
hungga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih
mengarah pada pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan
pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara.Tujuan utama
pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali
utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh tokoh-tokoh
nasionalis.
5. Periode kelima adalah periode Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967
hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan
program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum,
organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan
pembangunan.Karena fokus utama pembagunan
nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi.
6. Periode keenam
adalah periode Reformasi yang dimulai pada tahun 1998.Pada periode ini semangat
desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan
reformasi sehingga penataan system pendidikan nasional menjadi menu
utama.Dengan menelusuri prinsip-prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan terkait.
Layanan Publik : Responsivitas Birokrasi Pendidikan
Fenomena birokrasi pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada tantangan
IEnorm (Norma internal dan eksternal). Tantangan internalnya adalah adaptasi
model birokrasi menurut norma-ganda berdasar pada Undang-undang Nomor 21 tahun
2001 dan Undang-undang nomor 32 Tahun 2005yang harus mampu mempertinggi kinerja
birokrasi pendidikan. Sementara itu, tantangan eksternalnya bersangkut paut
dengan urusan publik yang harus mampu memperluas jangkauan dan mempertinggi
mutu layanan publik. Osborne dan Gaebler (1992) menyebutkan bahwa
birokrasi dapat menekuni misinya yang selama ini terabaikan, yaitu empowering
dan enabling institutions satuan-satuan sosial masyarakat, sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. North (1990), mengindikasikan bahwa :
aturan-aturan main dalam suatu masyarakat terbentuk dari interaksi yang
dibangun di antara mereka dan institusi-institusi yang ada mereducenya ke dalam
struktur.
Disadari bahwa, dominasi peran pemerintah dalam mengembangkan struktur
birokrasi pendidikan yang responsif, masih terus dikritisi dan terus menjadi
ajang diskursus yang menarik. Kegagalan demi kegagalan yang dialami selama ini,
selain disebabkan oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas, juga karena masih
adanya miskonsepsi dalam memandang eksistensi kewenangannya tanpa tatanan model
birokrasi yang tepat, juga terjadi malpraktik karena ketidak jelasan visi,
misi, tugas dan fungsi yang harus diemban. Kecenderungan faktualnya adalah
bahwa gerak adaptif birokrasi pendidikan terkendala oleh : Pertama, kian
menjamurnya distorsi pemahaman tentang visi dan misi pendidikan. Kedua,
lahirnya dualisme acuan tata pemerintaan. Ketiga, merebaknya kendala
struktur-fungsi birokrasi.
Era globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh
tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan yang
sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat.
Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari
keberhasilan institusi pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda
dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya
menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat
sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik,
merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan,
kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan
sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan
kenyamanan. Birokrasi publik tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi
keuantungan, namun memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam
penyelenggaraan pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Orientasi pada
pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk
penyelenggaraan pelayanan publik.
Responsivitas sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan daya
tanggap aparatur terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan
sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan. Sementara itu, responsivitas
menyangkut kemampuan aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi
baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus
merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Dalam Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan publik oleh pemerintah dibedakan
menjadi tiga kelompok layanan administratif, yaitu : Pertama, kelompok layanan
yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik; Kedua,
kelompok layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan
oleh publik; Ketiga, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang
dibutuhkan oleh publik. Layanan publik dalam hal ini dipahami sebagai segala
kegiatan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan dalam rangka pencerdasan
masyarakat sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
hal ini, paling tidak terdapat tiga pelaku yaitu : pembuat kebijakan,
penyedia/pelaksana layanan publik, dan penerima layanan (Susanto, Agus.
2005).Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana layanan publik
dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima layanan. Tetapi,
pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya digerakkan oleh visi dan misi
pelayanan, namun pada kenyataannya justru digerakkan oleh peraturan dan
anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena tidak disosialisasikan secara
transparan.
Pada kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal,
tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif
terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui
mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan
birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi
yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali
tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak
program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat
karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan
kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan
menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Layanan publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai
kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai
'konsumen' mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah
bentuk organisasi birokrasi, sehingga birokrasi selalu mendapat pengertian yang
negatif. Selain itu, penyedia layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku
yang dibuatnya sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan
yang telah ditetapkan acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi.
Terjadinya berbagai penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat
disebabkan oleh: Pertama, para birokrat yang bertanggungjawab pada
penyelenggaraan layanan publik masih terpaku pada paradigma lama dengan
semangat pangreh praja yang masih melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang
berlaku mengandung banyak lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong
terjadinya penyimpangan; Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering
memanfaatkan kelemahan peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat,
pengguna jasa masih berada pada posisi yang lemah.
Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama
ini banyak kebijakan, program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap
aspirasi masyarakat. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi
kepada kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan
dirinya sebagai penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan
turunnya kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar
antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh
rakyat. Dalam pandangan lain, aspek perubahan politik ikut berpengaruh pada
derajat layanan publik, sebagaimana disinggung oleh Peters, B. Guy (1984):
At least three of the old chestnuts that have guided our thinking about the
public service ini the process of governance are simply no longer as canonical
as they once were. The first of these principles is the assumption of an
apolitical civil service, and associated with it is the politis-administration
dichotomy and the concept of “neutral competence” within the civil service. A
second significant change in assumption about government relevant to this
discussion is a decline in assumption of hierachical and rule-based management
within the public service, and in the outhority of civil servants to implement
and eforce regulations outside of public service. The third change in the
assumptions about governance and the public bureaucracy concerns the permanence
and stability of the organizations within government.
Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut
merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Indikator
responsivitas pelayanan publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap aparat
birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna
jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat
birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.
Pendidikan dalam Perspektif Perubahan
Sosial
Pendidikan sebagai suatu proses yang mengubah perilaku individu dalam
konteks teori perubahan social akan mempunyai dampak terjadinya perubahan baik
pada tingkat individu sebagai agen maupun tingkat kelembagaan yang mampu
mengubah struktur social yang ada dalam masyarakat. Pendidikan dapat
menimbulkan perubahan dalam masyarakat dan sebaliknya, jika masyarakat
mengalami perubahan, secara tidak langsung sitem pendidikan juga mengalami
perubahan.
Arah pembangunan dibidang pendidikan sangat ditentukan oleh tuntutan
masyarakat sesuai dengan kebudayaan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah,
pemerintah daerah memegang peranan penting karena daerah mempunyai kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku. Terdapat beberapa faktor terjadinya tuntutan penerapan
desentralisasi pendidikan sebagai berikut.
1) Tuntutan orang tua, kelompok masyarakat,
para legislator, bisnis dan perhimpunan guru untuk turut serta mengotrol
sekolah dan penilaian pendidikan.
2) Adanya anggapan bahwa struktur pendidikan
yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi
siswa.
3) Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk
merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
4) Penampilan fisik sekolah dinilai tidak
memenuhi tunututan baru dari masyarakat.
5) Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh
bantuan pendanaan dari privatisasi.
Di samping beberapa faktor tersebut, terdapat bebebrapa faktor yang lain
tentang desentarlisasi pendidikan di Indonesia. Beberapa faktor tersebut
sebagai berikut.
1) Terjadinya tuntutan reformasi di segala
bidang termasuk bidang pendidikan.
2) Kurangnya perssaingan antar daerah dalam
memajukan pendidikan karena tuntutan nasional yang seragam.
3) Tuntutan masyarakat untuk mandiri sesuai
dengan kemampuan daerah untuk menyelenggarakan dan memajukan bidang pendidikan.
4) Ketidaksesuaian tuntutan nasional dengan
potensi sunber daya yang dimiliki daerah.
5) Adanya ketergantungan pemerintah daerah ke
pemerintah pusat.
6) Kurangnya kreatifitas daerah, sekolah dan
personil penyelenggara dan lain-lainnya.
7) Kurangnya kemandirian lembaga pengelola dan
pelaksana pendidikan karena besarnya ketergantungan terhadap pemerintah.
Berdasarkan tuntutan desentralisasi tersebut, maka sistem pendidikan juga
mengalami perubahan dan demikian pula implementasinya, semua daerah merasa
mempunyai kepentingan untuk mengembangkan daerahnya melalui pendidikan.
Pemerintah daerah berusaha untuk menemukan potensi yang ada di daerahnya dan
dikembangkan sedemikian rupa menjadi paket-paket pendidikan yang kental dengan
karakteristik kedaerahannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan potensi daerah,
pengajaran tidak lagi menggunakan pola-pola pengajaran terpusat pada guru tetapi
terpusat pada murid berdasarkan potensi masing-masing.
Dalam UU RI NO 20 Tahun 2003 pada pasal 1,2,3, dalam ayat-ayat tersebut
dapat diartikan bahwa penyelenggara pendidikan berkembang sesuai dengan
perkembangan daerah masing-masing, baik dalam hal pendanaan, manajemen,
kurikulum dan system evaluasinya. PBM(Pendidikan Berbasis Masyarakat) dimaknai
sesuai dengan pemahaman masing-masing daerah berdasarkan kondisi social
ekonomi. Owens (1996) mengemukakan bebebrapa asumsi penting yang dapat
dijadikan landasan PBM. Beberapa asumsi tersebut adalah sebagai berikut;
a) Pendidikan harus dipandang sebagi suatu
bentuk keberlanjutan sejak usia prasekolah hingga melalui proses pendidikan
sepanjang hayat.
b) Belajar adalah apa yang kita lakukan untuk
kita sendiri. Oleh sebab itu si pembelajar harus sadar keterlibatannya dalam
proses pembelajaran.
c) Pekerjaan di masa mendatang tidak hanya
memerlukan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi namun juga memerlukan
latar belakang yang berbeda termasuk di dalamnya yang mampu membelajarkan cara
belajar kritis, membangun sebuah tim, serta kemampuan untuk menerapkan ilmu
pengetahuan.
d) Orang dewasa perlu terlibat dalam urusan
masyarakat serta memberikan perhatian seimbang kepada pekerjaan, keluarga dan
masyarakat.
e) Masalah-masalah yang dapat di atasi
sekolah. Oleh karena itu keterlibatan keluarga, dunia kerja, masyarakat serta
pihak-pihak lain yng terkait menjadi sangat penting.
Adanya resistensi dari guru, sekolah dan masyarakat terhadap
perubahan-perubahan sebagaimana tersebut di atas harus diakui keberadaanya
sehingga memerlukan bantuan agar resistensi dapat dikelola dengan baik oleh
para pemimpin dunia pendidikan untuk mencapai visi pendidikan abad 21.
Budaya Kontrol Organisasi di
Sekolah
Di bawah ini akan
diuraikan tentang karakteristik budaya organisasi di sekolah, yaitu tentang (1)
obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant
value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organizationclimate.
(1) Obeserved
behavioral regularities;budaya organisasi di sekolah ditandai dengan
adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yang dapat
diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk acara-acara ritual
tertentu, bahasa umum yang digunakan atau simbol-simbol tertentu, yang
mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi
di sekolah ditandai pula oleh adanya norma-norma yang berisi tentang
standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru. Standar
perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun
pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku siswa
terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan
menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak.
Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau
akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.
Jika kita berpegang pada Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum
standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah Menengah Atas,
diantaranya mencakup :
(a) Memiliki keyakinan
dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai
dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan
dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan
kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi dan
menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan,
kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi
dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)
Berkenaan dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan
standar kompetensi yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap
kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah
merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005[21] tentang Standar Nasional Pendidikan,
yaitu :
(a) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta
didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b)
pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d)
perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a)
mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f)
berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i)
mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara
efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara
santun dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi
profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar;
(b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan
konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam
kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks
global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.
(3) Dominant values; jika dihubungkan
dengan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang
pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya
diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di sekolah. Nilai dan
keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yang
utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu
pendidikan sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah laku
anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam
konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu
pendidikan meliputi aspek input, proses dan output pendidikan. Pada
aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan
ketersediaan sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi
tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan
pada aspek proses,mutu pendidikan ditunjukkan melalui
pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input sekolah dilakukan secara
harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar
mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu
pendidikan dapat dilihat dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik
dalam bidang akademik maupun non akademik.
Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan
mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yang dikenal
dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang merupakan suatu
pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk mengoptimalkan daya saing
organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa,
manusia, proses kerja, dan lingkungannya. Aplikasi TQM didasarkan atas
kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan
ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja
sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan
terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan
secara optimal.
Prinsip utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan
pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta,
dan (4) perbaikan secara terus menerus. Selanjutnya, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah,
Depdiknas (2001)telah memerinci tentang elemen-elemen yang
terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus
digunakan untuk perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward)
atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi,
harus merupakan basis kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap
pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g)
imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah
merasa memiliki sekolah. Di lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997)dalam tulisannya tentangA
Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher
Education. dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membangun
budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, dengan menggunakan
prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision,
mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership:
creating a quality culture; (4) systematic individual development;
(4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making;
(6) collaboration; (7) planning for change; dan (8) leadership:
supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality
principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is
created.. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas, kita dapat
menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan akademik
atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita untuk dapat
mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan
menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
(4)
Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota
organisasi dalam memandang tentang sesuatu secara hakiki, misalnya tentang
waktu, manusia, dan sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan
organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang
memang telah terbukti memberikan keunggulan pada perusahaan, di mana filosofi
ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan kepada para pelanggan, maka
sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk
memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001)mengemukakan bahwa :
“Pelanggan, terutama
siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan di sekolah. Artinya, semua in
put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan
mutu dan kepuasan peserta didik .Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa
penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok
utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
(5)
Rules; budaya organisasi
ditandai dengan adanya ketentuan dan aturan main yang mengikat seluruh anggota
organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik
yang bersumber dari kebijakan sekolah setempat, maupun dari pemerintah, yang
mengikat seluruh warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam
organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib
sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula
dengan ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam
tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC
Digest78 mengatakan bahwa : “ School discipline has two main
goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an
environment conducive to learning.
(6) Organization
climate; budaya organisasi ditandai dengan adanya iklim organisasi. Hay
Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate
is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is
the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of
"the way we do things here.”
Nilai-nilai yang
mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat beragam.Jika merujuk pada
pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka
setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan di sekolah.
Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai dari Spranger
beserta perilaku dasarnya.
No
|
Nilai
|
Perilaku Dasar
|
1
|
Ilmu Pengetahuan
|
Berpikir
|
2
|
Ekonomi
|
Bekerja
|
3
|
Kesenian
|
Menikmati keindahan
|
4
|
Keagamaan
|
Memuja
|
5
|
Kemasyarakatan
|
Berbakti/berkorban
|
6
|
Politik/kenegaraan
|
Berkuasa/memerintah
|
Gambar 1.3. Jenis Nilai dan
Perilaku Dasarnya menurut Spranger
Di sekolah terjadi interaksi yang saling
mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun
sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut
sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus
dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi
setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun
sosialnya.
Upaya untuk mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan
tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini,
kepala sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik,
sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami
masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di sekolahnya.
Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi di sekolah, maka ia
akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan dan
sikap yang penting guna meningkatkan stabilitas dan pemeliharaan lingkungan
belajarnya.
Daftar Pustaka
Akmad Sudrajat .wordpress.com/2008/04/04/
hakikat-pengawasan-sekolah.
Diakses tanggal 12 Desember 2008
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Jakarta :
Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep
dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen
Hay Group. “Intervention: Managerial Style
& Organizational Climate
Assessment”.(http://www.
hayresourcesdirect. haygroup.com/ Misc/style_climate_intervention.asp.) 2003
Jann E. Freed. et.al. “A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality
Principles in Higher Education”. ( http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed406962.html). ERIC Digest. Tahun 1997
Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Prinsip- prinsipPerumusan dan Tata
Langkah Penerapan). Terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Joan Gaustad. “School Discipline” (http://eric.uoregon.edu/publications/
digests/digest078.html ). ERIC Digest 78.
December 1992
Publik
Moh. Pabundu Tika, 2006. Budaya
Organisasi dan Peningkatan Kerja
Perusahaan, Jakarta: Bumi Aksara.
Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Peter, B. Guy. 1984. American Public Policy. Franklin Watts, New York : Tulano
University.Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta : Depdiknas
Sirozi, M.2005.Politik Pendidikan.Jakarta :
PT. Rajagrafindo Persada.
Sudarwan Danim. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah (dari Unit Birokrasi ke
Lembaga Akademik). Cet.II. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Kepribadian. Jakarta :
Rajawali.
Susanto, Agus. 2005. Manajemen Pelayanan Publik. Makalah. Publikasi Internet :
http://www.ombudsman.or.id/pdf/SO2.pdf
T. Hani Handoko. 2003. Manajemen, Ed.II, Cet. 18,
(Yogyakarta: BPFE). 2003.
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan
Undang-undang nomor 32 Tahun 2005.